Ternyata, Tradisi Potong Tumpeng di Masyarakat Masih Keliru

Ternyata, Tradisi Potong Tumpeng di Masyarakat Masih Keliru

Masyarakat Indonesia amat akrab bersama kebiasaan memotong tumpeng dalam aktivitas perayaan, pesta, atau syukuran. Namun sayangnya, kebiasaan memotong pucuk tumpeng yang sepanjang ini dilakukan ternyata masih keliru.

President of Indonesia Gastronomy Association (IGA) Ria Musiawan mengatakan, kebiasaan memotong pucuk tumpeng harus diperbaiki, sebab berpotensi menyebabkan kerusakan nilai-nilai filosofis yang terdapat di dalam kebiasaan tumpengan itu sendiri.

“Mari kami perbaiki lagi pemahaman yang sepanjang ini tersedia tentang kebiasaan memotong tumpeng. Terutama yang mencakup makna, simbol dan perlakuan tentang tumpeng yang lebih sesuai bersama budaya dan histori kita,” seru Ria, di Jakarta, Selasa, 2 April 2019.

Ria mengatakan, tumpeng merupakan simbol atau simbol keinginan makhluk hidup kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dapat juga disimpulkan bersama simbol interaksi antara pemimpin bersama rakyatnya Pesan Nasi Tumpeng di Cijantung  .

“Sehingga kebiasaan memotong pucuk tumpeng mampu disimpulkan memotong interaksi tersebut. Harusnya yang sesuai bersama filosofi, budaya, dan hakekatnya, tumpeng itu dikeruk,” terangnya.

Filosofi dan falsafah tumpeng adalah simbol gunungan yang bersifat awal dan akhir. Tumpeng juga mencerminkan manifestasi simbol pembawaan alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan lagi kepada Tuhan.

Nasi bersifat kerucut ini pun menjulang ke atas, sebagai bentuk yang melukiskan tangan manusia merapat dan menyatu menyembah Tuhan. Tumpeng juga menyimpan harapan supaya kesejahteraan maupun keberhasilan tambah meningkat.

“Jadi terkecuali tumpeng dipotong, maka seolah-olah itu memotong interaksi kami bersama Sang Pencipta. Sebab di pucuk yang biasa ditutupi daun melambangkan tempat bersemayam Sang Pencipta,” papar Ria.

Ria mengatakan, baiknya tumpeng tidak dipotong melintang (horizontal) dan daun pisang di pucuk supaya tidak dilepas. “Tumpeng cuma boleh dikeruk sisi samping dari bawah, lantas orang yang mengeruk tersebut mengucapkan doa dalam hati,” ujarnya.

Bahkan di zaman dahulu, para sesepuh yang memimpin doa bakal menjelaskan pernah arti tumpeng sebelum akan dikeruk dan disantap. “Kemudian kerukan pertama diberikan pada orang yang diakui penting, dicintai, atau dituakan,” imbuh Ria.

Makna tersebut sesuai bersama filosofi Jawa Mikul dhuwur mendhem jero, yang berarti supaya orang yang lebih muda harus memperlakukan orangtua, pemimpin, sesepuh bersama baik.

Ria beri tambahan bagi para gastronom memaknai kebiasaan menyantap makanan layaknya tumpeng dan kebiasaan makanan lainnya di tiap-tiap tempat memiliki kegunaan sosial-budaya yang berkembang dalam suatu penduduk sesuai bersama keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan tingkat pendidikan. Makanan yang dihidangkan merupakan hasil dari adaptasi manusia pada lingkungan di sekitarnya.

“Sebagai produk budaya, makanan tidak cuma diamati secara fisik pas dihidangkan, tapi dipelajari secara menyeluruh di tiap-tiap sistem pembuatannya, menjadi dari penyediaan dan pemilihan bahan baku, memasak, hingga menghidangkannya di meja makan sebagai alur aktivitas budaya,” tutup Ria.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *